Pegunungan Meratus. Foto-Asia Today |
Oleh : Isratul Ikhsan
Usulan perubahan status wilayah Pegunungan Meratus menjadi taman nasional, kembali bergulir melalui rapat persiapan kebijakan yang berlangsung pada penghujung September lalu.
Para pihak terlibat, perwakilan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akademisi, pemerintah kabupaten di Kalsel, serta intansi terkait lainnya, berbincang tentang taman nasional untuk Pegunungan Meratus.
Entah kawasan Meratus mana yang jadi bahan pembicaraan pada pertemuan tersebut.
Namun, dari data yang dikeluarkan Pemprov Kalsel melalui laman web data.kalselprov.go.id/dataset/data/1247 saban tahun tercatat peningkatan jumlah izin usaha pertambangan (batubara, batuan, mineral bukan logam).
Merujuk data tersebut, hingga 2022, total Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalsel sebanyak 362 ijin, yang tersebar di wilayah Kabupaten Banjar, Batola, Tabalong, Tanah Laut, Tanah Bumbu, Tapin, Balangan, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Selatan.
Sementara itu, Forest Watch Indonesia (FWI), melalui risetnya pada tahun 2023, merilis data tentang pertambangan tanpa persetujuan penggunaan kawasan hutan, alias illegal, mencapai 30.000 hektare.
Pada sektor perkebunan skala besar berbasis monokultur (kelapa sawit), data statistic perkebunan 2022 menyebutkan, Kalsel memiliki luasan perkebunan kelapa sawit sebesar 443.802 hektare yang dikelola 89 perusahaan swasta dan negara, serta 107.582 hektare perkebunan rakyat.
Fakta tersebut, jelas menunjukkan bahwa wilayah Pegunungan Meratus, sudah berada pada kondisi teramat kritis.
Banjir besar pada 2021 yang berlangsung hampir dua pecan, menghantam 11 dari 13 kabupaten kota di Kalsel, dengan korban mencapai 342.987 Jiwa, sejatinya merupakan peringatan besar, bahwa tata kelola wilayah konservasi Pegunungan Meratus, harus segera dibenahi.
Meratus Hulu adalah Barabai
Medio 2018, Kementrian ESDM melalui Dirjen Minerba, menerbitkan Keputusan Mentei ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang penyesuaian tahap kegiatan PKP2B PT Mantimin Coal Mining (MCM), dengan area konsesi seluas 5.908 hektar, meliputi blok Batutangga (HST), Blok Upau (Tabalong dan Balangan).
Geger Alengka lantas meliputi para aktifis, pemerhati lingkungan, dan masyarakat, dengan sorotan utama pada blok Batutangga.
Upaya perlawanan digaungkan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, menggugat putusan tersebut. Kendati gugatan akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung (MA), melalui putusan bernomor 15/PK/TUN/LH/2021, namun potensi eksploitasi wilayah, masih rentan terjadi.
Pasalnya, periode 2010, saat sidang pembahasan AMDAL PT MCM, pada Dinas Lingkungan Hidup Kalsel, yang kala itu dipimpin Ir Rahmadi Kurdi, peserta sidang sepakat menolak AMDAL yang diajukan, termasuk penulis yang mewakili Yayasan Kompas Borneo dari unsur perwakilan masyarakat, dengan alasan eksplorasi pada wilayah HST yang termasuk kawasan Meratus Hulu itu, akan berdampak secara signifikan terhadap tata kelola lingkungan dan sosial masyarakatnya.
AMDAL PT MCM lantas ditangguhkan, dan 8 tahun berselang, terbitlah ijin keramat penyesuaian tahap kegiatan pertambangan.
Namun, wilayah Meratus Hulu, Barabai, HST, bukan sekali menghadapi tantangan eksploratif terhadap kekayaan yang dimilikinya.
Pertengahan era 1980 an, PT Fass Forest yang mengantongi ijin HPH No 147/Kpts/Um/1980, melakukan pembalakan kayu di area itu, dengan wilayah meliputi Sumbai, Batu Perahu, Gunung Paniti Ranggang, Gunung Tebing Daratan, dan Gunung Periuk.
Pembalakan itu, dalam riwayatnya, berdampak besar dalam tatanan sosial masyakat Dayak Meratus, mereka yang sejak pendahulunnya karib dengan pemanfaatan hutan berdasar nilai kearifan local, dituding melakukan pembalakan liar.
Bencana banjir, setali tiga uang, menghantam wilayah di sepanjang daerah aliran sungainya, hingga menusuk jantung kota Barabai.
Padahal, upaya perlindungan terhadap kawasan Meratus Hulu, sudah jauh melampaui masanya.
Di era Kolonial Belanda, para meneer penjajah ini, menyadari pentingnya menjaga kawasan karena fungsi hidrologisnya yang begitu vital.
Di masa itu, Pegunungan Meratus wilayah pesisir (Kotabaru) seluas 100 ribu hektare, dan Meratus Hulu Sungai seluas 130 ribu hektare, ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui penerbitan Gouvernement Besluits bernomor 10 dan 11, Februari 1928.
Upaya perlindungan terhadap kawasan Meratus, tak lantas surut. Periode 1990 an, melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalsel 1996, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Kalsel, serta SK Menhutbun bertarikh 17 Juni 1999, dua wilayah tersebut kembali ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung.
Kendati demikian, jejak panjang perlawanan, baik yang bersifat formal, melalui penetapan kawasan lindung oleh negara, hingga perlawanan berbasis masyarakat, tak kunjung memberi angin segar terhadap perlindungan kawasan.
Ijin eksploitatif masih ringan diberikan negara untuk mereka yang coba menjamah Meratus,
Taman Nasional Kiwari, usai diusulkan sebagai kawasan Geopark, status Taman Nasional menyusul kemudian.
Usulan yang sejatinya telah lama bergulir ini, syahdan menerima pandangan sinis dari pegiat lingkungan di Kalsel, terutama berkaitan dengan pembagian zonasi pada wilayah taman nasional.
Apa yang dikhawatirkan para pegiat lingkungan ini, bisa jadi benar adanya.
Dengan zonasi kawasan, rekayasa terhadap wilayah yang bisa dimanfaatkan, hingga pembatasan akses terutama bagi bubuhan Dayak Meratus, menjadi isu utama.
Konsep pengelolaan taman nasional diadaptasi dari pendirian Taman Nasional Yellowstone (1872) di Amerika Serikat.
Dalam pembentukannya, Suku Indian Crow, harus merelakan diri terusir dari tanahnya.
Wilayah hidup mereka kian menyusut, dari 83 Juta hektare, menjadi 2 juta hektare, dan terus mengecil.
Sebagian sejarawan, bahkan menyebut genosida budaya pada Suku Indian, seiring eksistensi Yellowstone.
Konsep Taman Nasional di Indonesia, dengan pemberlakuan Zona Inti, Zona Rimba, dan Zona Pemanfaatan, sedianya telah mengadopsi paradigma baru pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaannya, kendati ada pembatasan dalam hal pemanfaatan, terutama pada zona inti.
Namun, riwayat pengelolaan taman nasional sesuai keperluan, juga kerap terjadi pada tata kelola di Indonesia, tengoklah bagaimana “keterasingan” Suku Anak Dalam di wilayah tradisional mereka usai ditetapkan menjadi Taman Nasional Bukit 12 dan Taman Nasional Bukit 20.
Area meramu suku ini kian mengecil, ditambah desakan industri perkebunan kelapa sawit skala besar, padahal konsesinya berada di wilayah taman nasional.
Untuk itu, ekses negatif yang mungkin timbul dari penyematan status taman nasional, perlu diantisipasi semaksimal mungkin.
Pelibatan para stakeholder, pemerintah, pegiat, hingga masyarakat adat, perlu diwadahi.
Pemuatan unsur budaya, konservasi kawasan, serta nilai-nilai kearifan lokal pada area yang akan ditetapkan sebagai wilayah taman nasional, wajib tersinergi, sebagai syarat utama.
Karena, peningkatan status kawasan Meratus Hulu menjadi taman nasional, sesungguhnya bisa membuka ruang perlindungan yang lebih komprehensif bagi kawasan, dengan tindakan terukur bagi mereka yang coba menjamahnya. Hanya saja, mungkinkah?
Penulis merupakan pemerhati lingkungan, dan Ketua Umum Kompas “Borneo” Unlam periode 2005-2007