Presiden ke-2 RI Soeharto bersama presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Foto-Istimewa |
SUARAMILENIAL.ID, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan pimpinan MPR mendorong agar presiden ke-2 RI Soeharto dan presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat gelar pahlawan nasional.
Hal itu disampaikan Bamsoet usai Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan 2019-2024 di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (25/9).
Menurutnya jangan sampai ada warga negara Indonesia, apalagi seorang pemimpin bangsa yang harus menjalani sanksi hukuman tanpa adanya proses hukum yang adil.
MPR, kata Bamsoet, sudah sepantasnya merajut persatuan bangsa.
"Tidak perlu ada lagi dendam sejarah yang diwariskan kepada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu dan terlibat pada berbagai peristiwa kelam pada masa lalu," kata politikus Golkar itu seperti dilansir CNN Indonesia, Kamis (26/9).
Oleh karena itu, katanya, pimpinan MPR RI mendorong agar jasa dan pengabdian dari Presiden pertama RI Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur dapat mendapat penghargaan yang layak.
Ia mengatakan bahwa MPR telah menerima surat dari Fraksi Partai Golkar tertanggal 18 September 2024 perihal kedudukan Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 yang membahas soal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 secara pribadi Pak Harto (sapaan akrab presiden ke-2 RI) dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah wafat.
Namun, sambungnya, pimpinan MPR bersepakat perihal kedudukan hukum Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 menyatakan masih berlaku oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003.
Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR soal KKN itu sendiri berawal dari usulan fraksi Golkar ke MPR. Soeharto memang dikenal memiliki kedekatan dengan Golkar.
Sebagai salah satu partai yang telah berdiri sejak Orde Lama, Golkar kemudian menjelma menjadi salah satu pilar kekuasaan Soeharto selama 32 tahun Orde Baru. Meskipun demikian, Soeharto tak pernah menjadi ketua umum partai tersebut, di mana dia hanya pernah menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar kala itu.
Soeharto bersama rezim Orde Baru-nya jatuh lewat gerakan reformasi pada 1998. Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998.
Setelah Orde Baru runtuh, MPR pun mengeluarkan TAP MPR yang menegaskan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Kemudian pada Maret 2000, kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka dugaan korupsi lewat tujuh yayasan. Kemudian pada Agustus dia dilimpahkan ke persidangan, namun upaya menghadirkan penguasa Orba itu ke meja hijau selalu gagal. Akhirnya pada 2006 lalu, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan pemerintah tidak akan melanjutkan perkara mantan Presiden Soeharto di pengadilan, yang selama ini terhenti karena alasan kesehatan.
Pada 11 Mei 2006 kejaksaan pun menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.
Selain itu, lanjut Bamsoet, pimpinan MPR juga menerima surat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa perihal Kedudukan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pemberhentian sebagai presiden. PKB diketahui sebagai partai yang pernah digawangi Gus Dur dan jadi motornya menduduki kursi presiden.
Berdasarkan kesepakatan rapat gabungan, pimpinan MPR menegaskan bahwa ketetapan MPR tersebut saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi, sebagaimana dinyatakan oleh Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
"Seluruh hal tersebut dilaksanakan pimpinan MPR sebagai bagian dari penyadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan," kata dia.
Gus Dur dimakzulkan MPR lewat Sidang Istimewa pada 21 Juli 2001. Sebagai ganti Gus Dur, MPR yang kala itu masih memegang kuasa memilih kepala negara kemudian menunjuk Wapres Megawati Soekarnoputri untuk jadi Presiden kelima RI. Politikus PPP Hamzah Haz kemudian ditunjuk jadi Wapres yang mendampingi Megawati.
Setelah pemakzulan GusDur yang dinilai bermuatan politis itu, tata cara menggulingkan presiden kemudian dibuat lebih rumit atau prosesnya lebih panjang bila dikaitkan karena pelanggaran hukum hingga perbuatan tercela.
Secara sederhana, semua itu berawal dari keputusan paripurna DPR untuk meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa, mengadili, dan memutus bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum.
Putusan MK--apabila mengabulkan atau menerima pendapat DPR-- kemudian dilanjutkan sidang paripurna anggota dewan untuk dilanjutkan ke MPR. MPR kemudian harus menggelar sidang paripurna, serta presiden dan/atau wakil presiden diberi ruang untuk melakukan pembelaan.
Reporter : Newswire
Editor : Amrullah Ermanto