Andai “Meledak” di Era Soeharto, Lagu Bernadya Bakal Dibenci Pemerintah

Musisi muda Tanah Air, Bernadya Ribka Jayakusuma. Foto-YouTube

SUARAMILENIAL.ID, JAKARTA - Tak butuh waktu lama bagi musisi muda Tanah Air, Bernadya Ribka Jayakusuma, agar lagunya bisa digemari banyak masyarakat Indonesia lewat album baru “Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan”.


Lagu-lagunya yang mengangkat kisah sakit hati akibat percintaan sukses membuat hati publik tersentuh hingga meneteskan air mata.


Tak heran, tembangnya sukses menguasai top 50 Spotify Indonesia. 


Bahkan, album debut Bernadya ini menjadi paling banyak didengar dalam sehari di aplikasi streaming musik tersebut. 


Keberadaan lagu-lagu Bernadya lantas menambah hiruk pikuk blantika musik Tanah Air yang seiring waktu selalu diramaikan oleh lagu yang mengundang derai air mata.


Pada dasarnya, kehadiran karya Bernadya dan lagu-lagu genre serupa didukung oleh iklim politik yang baik. 


Sebab, sejarah mencatat lagu-lagu pengundang air mata alias lagu sendu pernah dilarang dan dibenci pemerintah.


Pelarangan tersebut terjadi pada akhir 1980-an. 


Sebagai catatan, kala itu masyarakat Indonesia sedang digandrungi lagu sendu. 


Paling terpopuler adalah karya Betharia Sonata berjudul "Hati yang Luka" yang tayang pada 11 Januari 1988. 


Lagu tersebut relevan dengan kondisi masyarakat luas. 


Sebab, menceritakan karamnya bahtera rumah tangga akibat kekerasan. 


Betharia Sonata berupaya menyoroti hidup istri yang terkena kekerasan, seperti ditampar dan diperlakukan kasar lain oleh suami. 


Semua itu lantas membuat istri ingin “(di)pulangkan saja pada ibuku atau ayahku”.


Kendati populer dan membuat masyarakat meneteskan air mata, pemerintah melihatnya berbeda. 


Menteri Penerangan Harmoko menganggap "Hati yang Luka" sebagai lagu cengeng yang bisa mematahkan semangat pendengarnya. 


Jika dibiarkan, maka akan berdampak pada produktivitas kerja.


"Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, tentu sulit mengajak orang bekerja keras," kata Harmoko, dikutip Kompas (25 Agustus 1988).


Bahkan, menurutnya, lagu-lagu cengeng bisa membuat masyarakat menyerah dan melemahkan komitmen pembangunan bangsa. 


Ditambah lagi, lagu tersebut hanya bualan semata sebab bukan dibuat berdasarkan kenyataan di masyarakat. 


Pernyataan Harmoko tentu bisa dimaknai bahwa perintah pelarangan berasal dari Soeharto. 


Sebab, dia bertugas sebagai perpanjangan tangan presiden yang menjalani pekerjaan sebagai Menteri Penerangan. 


Maka, nasib lagu "Hati yang Luka" berakhir dilarang tayang di media milik pemerintah yang jadi satu-satunya dinikmati masyarakat, yakni TVRI dan RRI. 


Seiring waktu, larangan pemerintah atas lagu-lagu cengeng berdampak luas.


Tak hanya "Hati yang Luka", tapi juga lagu serupa lainnya. 


Sebut saja lagu "Gelas-gelas Kaca" besutan Nia Nadiati, "Aku Masih Seperti yang Dulu" buatan Dian Piesesha, dan sebagainya. 


Dampak pelarangan tentu saja mematikan industri musik Tanah Air. 


Padahal, lagu-lagu tersebut sukses terjual laku di pasaran.


Kendati demikian, pelarangan terbukti tak cukup ampuh. 


Lagu sendu pengundang derai air mata tetap melegenda dan menjadi favorit masyarakat Indonesia sampai sekarang. 


Kini, musisi Indonesia makin banyak mengeluarkan lagu genre serupa. 


Tak hanya Bernadya, tapi juga banyak musisi lainnya. 


Tentu saja, andai Bernadya Cs eksis di zaman Soeharto, cerita bakal berbeda. 


Reporter : Newswire

Editor      : Muhammad Robby 

Lebih baru Lebih lama