Sidang kasus permohonan administrasi di Bawaslu Kabupaten Banjar. Foto-Istimewa |
SUARAMILENIAL.ID, BANJARMASIN - Sidang kasus permohonan administrasi di Bawaslu Kabupaten Banjar memasuki babak lanjutan dengan agenda jawab termohon dan alat bukti pada Senin (18/3).
Namun termohon para PPK di 5 kecamatan yang dilaporkan ke Bawaslu Banjar yang diwakili kuasa hukumnya yakni Yusuf Ramadhan melakukan sanggahan terhadap cukup syarat formil dan materil hasil kajian Bawaslu Banjar.
Sanggahan yang disampaikan sudah dari persidangan awal dan sangat kuat landasannya yakni dalam laporan Nomor 001/LP/PL/Kab/22.04/03/2024 yang diterima Bawaslu Kabupaten Banjar yang menjadi Pelapor adalah Hairul Patarujali (WNI), yang dalam hal ini tidak sama sekali menjelaskan relasi antara kepentingan pelapor dengan pokok perkara yang dilaporkan.
Dengan kata lain tidak ada sangkut paut antara kepentingan pelapor dengan pokok perkara yang dilaporkan (tidak mememuhi legal standing sebagai pelapor).
Kendati berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Perbawaslu 7/2022 kategori pelapor adalah salah satunya WNI, namun tidak semua jenis dugaan pelanggaran pemilu yang dapat dikategorikan sama (dalam hal kedudukan Pelapor).
Hal ini selaras dengan putusan pelanggaran administrasi yang disadur oleh pelapor, Putusan Bawaslu RI Nomor : 047/LP/PL/ADM/RI/00.00/V/2019 yang dalam putusan tersebut pelapor berkedudukan sebagai pihak yang dirugikan yakni salah satu Caleg DPRD Provinsi yang memberikan kuasa kepada kantor hukum.
“Sehingga pelapor dalam laporan a quo tidak memiliki legal standing/tidak memiliki kepentingan langsung atas peristiwa yang dilaporkan,” kata Yusuf.
Selain dari sisi formil aspek materil pun cacat bahwa syarat materil laporan dalam 15 ayat (4) Perbawaslu 7 Tahun 2022 adalah waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran pemilu, uraian kejadian dan bukti.
Bahwa ketentuan dimaksud diatur secara kumulatif, artinya ketiga unsur syarat materil tersebut harus dipenuhi secara bersamaan, namun dalam laporan a quo, pelapor tidak dapat menguraikan kejadian dugaan pelanggaran dimaksud secara spesifik, pelapor hanya mendalilkan adanya ketidakseusaian antara C. Hasil DPR dengan D. Hasil Kecamatan DPR. Pelapor tidak menguraikan kronologis tata cara, prosedur, atau mekanisme apa yang dilanggar oleh para terlapor sehingga terjadi perubahan perolehan suara tersebut sebagaimana dalil pelapor.
Bahwa secara spesifik Pasal 1 angka 32 Perbawaslu 8 Tahun 2022 memberikan pengertian bahwa Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan, mengacu pada PKPU 5 Tahun 2024, utamanya pada ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 25 yang mengatur tata cara, prosedur, atau mekanisme Rekapitulasi Tingkat Kecamatan, dalam Laporan a quo sama sekali tidak ada satu pun dalil Pelapor yang mengarah pada perbuatan Para Terlapor melanggar ketentuan Pasal dimaksud.
Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum ULM, Muhammad Erfa Redhani mengatakan dalam proses penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu, kajian awal itu produk yang digunakan untuk menjustifikasi bahwa laporan/temuan atas dugaan pelanggaran administrasi itu dapat di register.
Tetapi, bukan bearti kajian awal itu selalu akan sama dengan putusannya.
Sementara Pakar Hukum Administrasi dari ULM, Ahmad Fikri Hadin mengatakan berdasarkan Pasal 15 Perbawaslu 7 Tahun 2022 telah secara tegas memberi ruang kepada Pengawas Pemilu untuk melalukan Kajian Awal kepada setiap Laporan yang masuk, apabila ada perbaikan kedepan berdasarkan Asas contrarius actus dapat melakukan perbaikan.
Sementara praktisi hukum Dr. Gt. Wardiansyah berpandangan berdasarkan prinsip hukum apabila syarat formil dan materil cacat maka gugur pokok perkaranya.
Memungkinkan saja apabila majelis berpandangan lain karena implementasi dari prinsip kehatian-hatian sehingga keberanian majelis lah yang ditunggu untuk memutuskan hal tersebut karena keyakinan cacat formil dan materilnya kuat. (*)