PLTU Suralaya di Cilegon. Foto-Greenpeace |
SUARAMILENIAL.ID, BANJARMASIN - Trend Asia dan Forest Watch Indonesia (FWI) menggelar bincang media bersama sejumlah jurnalis lokal di kawasan Bandarmasih Tempoe Doeloe (BDT), Jumat (23/2).
Diskusi ini menyoroti langkah pemerintah terkait transisi energi yang dalam praktiknya kerap menimbulkan masalah.
Salah satu program transisi energi yang disoroti adalah kebijakan co-firing.
Co-firing adalah pencampuran bahan bakar PLTU batu bara dengan biomassa yang digolongkan beberapa tahun terakhir dilakukan PLN.
Dari data yang dihimpun, metode co-firing sudah dilakukan PLN di 52 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) seluruh Indonesia.
Sumber biomassa didapatkan dari hutan tanaman energi (HTE) dan metode ini diklaim mengurangi emisi dan meningkatkan porsi energi terbarukan.
Namun, proses transisi energi seperti ini masih memiliki sederet masalah bagi lingkungan.
Laporan Forest Watch Indonesia (2023), menyebut bahwa pembangunan HTE yang merupakan sumber biomassa, mengakibatkan kehilangan hutan alam sebanyak 55 ribu hektare dan sebanyak 420 ribu hektare hutan alam tersisa terancam dirusak (planned deforestation).
Riset Trend Asia (2023) menyebut bahwa transisi energi akan menimbulkan “hutang emisi” karena biomassa yang ada tetap dibakar.
Proses transisi energi sejatinya tidak hanya mengubah jenis energi dan teknologi, tetapi harus bisa menjawab masalah perubahan iklim, meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, kerusakan lingkungan, dan mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.
Amalya Reza Oktaviani, dari Trend Asia, menyebut PLTU co-firing biomassa hanya solusi palsu energi baru terbarukan.
Soalnya, kata dia, co-firing tetap menghasilkan emisi gas rumah.
Di ranah internasional, kata Amalya, status energi biomassa sebagai bahan bakar bersih dan netral karbon juga masih diperdebatkan.
“Klaim co-firing biomassa netral karbon adalah klaim yang keliru, karena seluruh emisi yang dihasilkan dari mulai pembukaan hutan hingga pembakaran biomassa di PLTU akan menjadi hutang karbon yang tidak mungkin dilunasi dari penanaman hutan tanaman energi,” kata Amalya.
Diskusi dengan sejumlah jurnalis lokal ini diinisiasi untuk mendorong proses transisi energi yang lebih demokratis dan berkeadilan, termasuk di Kalsel.
Sebab, Kalsel juga memiliki PLTU -tepatnya PLTU Asam-Asam- yang menggunakan metode co-firing.
Provinsi ini juga memiliki sejumlah perusahaan pemasuk biomassa dengan skema PBPH-HT.
Menurut FWI dan Trend Asia, pelibatan masyarakat lokal merupakan syarat utama untuk mencapai pemenuhan energi yang demokratis.
Melihat tren transisi energi yang berkembang justru mengancam deforestasi bagi hutan di Kalimantan Selatan.
Reporter : Newswire
Editor : Muhammad Robby